UTS-3 My Stories for You – Pembuktian Sang Medioker & Di Antara Pedang dan Pikiran

Author

Daffari Adiyatma

UTS-3 My Stories for You


Kisah 1 — Pembuktian Sang Medioker (Pengalaman Nyata)

SMAN 1 Padang

Waktu itu saya masih di SMAN 1 Padang.
Saya belum tahu pasti minat saya, hanya tahu satu hal: saya ingin masuk ke tempat terbaik.
Saya mencari di internet: “kampus teknik terbaik di Indonesia.”
Muncul nama ITB, dan di dalamnya ada jurusan STEI-K, katanya yang paling sulit dimasuki.
Tanpa banyak pikir, saya menantang diri sendiri: kalau mau membuktikan sesuatu, sekalian saja ke puncak.

Saya sempat mencoba jalur SNBP, tapi gagal. Hari pengumuman saya malah demam.
Saat membuka web dan melihat warna merah, saya cuma menunjuk layar ke orang tua, lalu… tidur lagi wkwkwk.
Tapi dalam hati saya tahu: ini belum selesai.

Saya lanjut ikut les SBMPTN, belajar tiap hari, walau kadang lebih sering diskusi hal tidak penting dengan teman seperjuangan.
Banyak orang bilang saya terlalu nekat, bahkan keluarga sendiri menyarankan,
> “Sudahlah, masuk ke universitas dekat saja, realistis sedikit.”
Tapi saya tetap maju. Saya ingin membuktikan sesuatu — bukan ke mereka, tapi ke diri saya sendiri.

Satu-satunya yang benar-benar percaya pada saya adalah ibu saya.
Beliau bilang,
> “Kalau kamu mau, kejar. Jangan dengarkan kata orang.”
Dan tentu, ada juga seseorang yang terus mendorong saya belajar, meskipun saya sering malas-malasan ehee.
Kami belajar bareng, saling menyemangati, dan menertawakan soal yang sama-sama tidak bisa.

Hari pengumuman SBMPTN akhirnya datang.
Hujan deras mengguyur Padang sore itu. Saya membuka laptop dengan jantung berdetak keras.
Begitu halaman terbuka, saya tertegun: warna biru.

ITB – Kampus Impian

Kalimat yang muncul di layar:
> “Selamat, Anda dinyatakan lulus SBMPTN di Institut Teknologi Bandung – STEI-Komputasi.”

Saya sempat diam lima menit, tidak percaya. Lalu tiba-tiba melompat, sujud syukur, dan berteriak:
> “Ma, siap-siap packing, kita ke Bandung!”

Rasanya luar biasa. Saya satu-satunya dari sekolah yang lolos ke STEI-K lewat SBMPTN.
Beberapa hari setelah itu, saya merasa unbeatable.
Tapi ketika benar-benar masuk ITB… realitas mulai menepuk pundak.
Kampusnya ternyata kecil, tapi isinya para raksasa otak.
Saya, si “medioker”, kini duduk di antara orang-orang yang hampir tidak pernah salah menjawab soal.

Lucunya, saya tidak minder — saya malah tertawa.
Karena ternyata, saya bisa berada di tempat yang dulu cuma saya lihat dari layar laptop.
Dan dari situ, saya belajar bahwa percaya diri bukan berarti merasa hebat, tapi berani tetap berdiri di tengah ketidakpastian.

Saya menamai kisah ini: Pembuktian Sang Medioker.
Karena saya bukan yang paling jenius, tapi saya tetap berani mencoba —
dan kadang, itu sudah cukup untuk menang.


Kisah 2 — Di Antara Pedang dan Pikiran (Fiksi)

KNIGHT

Di sebuah kerajaan yang dilanda perang panjang,
hidup seorang ksatria muda bernama Aiden, murid termuda di pasukan kerajaan.
Aiden tidak punya darah bangsawan, tidak pula kekuatan luar biasa.
Yang ia miliki hanyalah akal yang tajam dan hati yang gelisah.

Setiap hari ia berlatih di halaman istana. Pedangnya sering tumpul, tapi pikirannya tidak pernah diam.
“Untuk apa bertarung kalau yang diperjuangkan sudah tidak adil?” begitu pikirnya setiap kali melihat pertempuran.

Suatu malam, Aiden dipanggil oleh panglima tertinggi.
> “Kau cerdas, Aiden, tapi terlalu banyak berpikir. Di medan perang, yang dibutuhkan adalah pedang, bukan logika.”
Aiden menjawab pelan,
> “Tanpa logika, pedang hanya alat pembunuh. Dengan logika, pedang bisa menjadi alat pelindung.”

Ucapan itu membuat panglima murka.
Aiden diturunkan pangkatnya dan dikirim ke garis belakang untuk menjaga perbekalan.
Tapi justru dari sana, ia melihat hal yang tak disadari prajurit lain:
musuh tidak menyerang dengan pasukan, tapi dengan strategi dan tipu daya.

Ketika pasukan utama mulai kacau, Aiden diam-diam memimpin unit kecilnya membangun benteng pertahanan di sisi timur —
tempat yang diabaikan semua orang karena dianggap tidak penting.
Dari sanalah mereka menyelamatkan seluruh pasukan dari kehancuran total.

Namun setelah perang berakhir, tak ada yang menyebut nama Aiden.
Semua pujian diberikan kepada panglima yang sama yang dulu merendahkannya.
Aiden hanya tersenyum dan berkata,
> “Yang penting, rakyat selamat. Pedangku tak perlu bersinar jika pikiranku sudah menyala.”

Bertahun-tahun kemudian, namanya baru disebut dalam catatan tua sebagai:
> “Seorang ksatria tanpa mahkota, yang bertarung bukan dengan kekuatan, melainkan dengan pikiran.”


Refleksi Konseptual — Komunikasi, Keberanian, dan Nilai Diri

Dua kisah ini mungkin berbeda dunia, tapi memiliki pesan yang sama:
percaya pada diri sendiri, bahkan saat dunia meremehkan.

Dalam kisah nyata, saya belajar bahwa pembuktian bukan soal siapa yang paling cepat sampai,
tetapi siapa yang berani memulai meski semua orang bilang tidak mungkin.
Sementara dalam kisah fiksi, Aiden mengajarkan bahwa logika tanpa hati melahirkan kekerasan,
tapi hati tanpa logika melahirkan kehancuran.

Keduanya menggambarkan bahwa komunikasi sejati tidak hanya ada di kata-kata,
tetapi juga di tindakan, keberanian, dan konsistensi nilai.

Dan seperti Aiden, saya pun merasa tidak perlu mahkota atau sorak kemenangan.
Cukup tahu bahwa setiap langkah — entah di ruang ujian SBMPTN, di kampus kecil bernama ITB, atau di medan hidup yang lebih luas —
telah saya jalani dengan pedang dan pikiran saya sendiri.

“Kemenangan sejati bukan saat orang lain mengakui kita, tapi saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri.”