UTS-1 All About Me

Author

Daffari Adiyatma

UTS-1 All About Me

About Me

Daffari Adiyatma adalah mahasiswa S1 Sistem dan Teknologi Informasi, Institut Teknologi Bandung, angkatan 2022.
Lahir di Padang, Sumatra Barat (25 Juli 2004) dan memiliki akar keluarga di Bukittinggi dengan darah Minang–Jawa.
Ia tumbuh dalam keluarga yang menjunjung kebebasan dalam menentukan pilihan, pentingnya pendidikan, dan nilai kekeluargaan.

Saat ini Daffari tinggal di Bandung untuk menempuh studi. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, sosok yang dikenal logis, analitis, dan memiliki rasa keadilan yang kuat.
Di luar dunia akademik, ia menikmati membaca, menonton, bermain musik, dan game — bukan sekadar hiburan, tapi juga riset moral terselubung (setidaknya begitu saya bilang ke diri sendiri tiap kali main terlalu lama).

LinkedIn : daffari-adiyatma
Instagram: @dapp._25


Kisah yang Membentuk Diri — Dari Logika, Nilai, dan Dunia Imajinasi

Bagi sebagian orang, cerita hanyalah hiburan.
Bagi saya, cerita adalah cara untuk memahami hidup. Sejak kecil, saya tumbuh bersama kisah-kisah dari anime, game, dan film yang menanamkan keyakinan sederhana: bahwa keadilan, kesetiaan, dan kebaikan bukan sekadar idealisme, melainkan fondasi yang menentukan apakah seseorang layak disebut manusia seutuhnya.

Saya selalu percaya bahwa keadilan adalah kunci kebahagiaan bagi komunitas. Sebab tanpa keadilan, tidak akan ada kepercayaan; dan tanpa kepercayaan, tidak ada yang bisa dibangun bersama.
Namun di sisi lain, saya juga seorang realistis. Saya membaca The Prince karya Machiavelli dan justru belajar sisi positifnya: bahwa kekuasaan tanpa moral adalah bencana, tapi moral tanpa realisme adalah kelemahan.

Dalam keseharian, saya tidak menganggap dunia hitam dan putih — lebih sering abu-abu. Tapi dalam ruang abu-abu itulah nilai seseorang diuji: apakah tetap teguh pada prinsip, atau hanyut dalam kepentingan sesaat.
(Saya sendiri kadang ikut hanyut, terutama kalau sudah masuk diskon Steam Autumn Sale — manusiawi lah, ya.)


1. Simbolisme Identitas — Antara Logika, Kekuasaan, dan Kemanusiaan

Jika saya harus menuliskan refleksi diri dalam tokoh-tokoh simbolik, maka saya melihat diri saya di antara Kazuya Souma, King Baldwin IV, Salahuddin Al-Ayyubi, dan Lelouch vi Britannia — empat pemimpin dari dunia yang berbeda, namun diikat oleh satu benang merah: logika yang berakar pada nilai kemanusiaan.

Dari Kazuya Souma, saya belajar bahwa rasionalitas dan empati bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Ia membangun kerajaannya bukan dengan pedang, melainkan dengan kebijakan dan perhitungan. Ia memperlihatkan bahwa menjadi pemimpin berarti mengelola sistem, bukan memerintah manusia.
Souma melambangkan ideal saya: seorang pemimpin yang bekerja dengan akal, tapi memutuskan dengan hati.

Dari King Baldwin IV, saya belajar kebijaksanaan dalam kesunyian. Ia tahu kekuasaannya fana, tubuhnya rapuh, tapi jiwanya teguh. Ia menolak memerintah dengan amarah, dan justru menaklukkan dunia lewat kendali diri.
Baldwin mengajarkan saya bahwa keadilan tanpa kebijaksanaan akan melahirkan kekerasan, dan kekuasaan tanpa pengendalian diri akan melahirkan kejatuhan.

Berhadapan dengannya dalam sejarah adalah Salahuddin Al-Ayyubi, simbol lain dari kebesaran hati. Ia memimpin dengan keberanian dan belas kasih, menang tanpa kesombongan, dan menegakkan kehormatan bahkan kepada musuhnya.
Salahuddin memperlihatkan bahwa iman dan kemanusiaan dapat berjalan beriringan tanpa saling meniadakan.

Sementara Lelouch vi Britannia mengingatkan saya akan kenyataan bahwa setiap keputusan besar membawa harga yang harus dibayar. Ia memahami bahwa dunia sering kali bergerak bukan karena kebenaran, melainkan karena persepsi.
Lelouch melambangkan keberanian dalam mengambil keputusan sulit — dan kesadaran bahwa pengorbanan sering kali menjadi bentuk keadilan terakhir yang tersisa.
(Seandainya saja dunia nyata juga punya tombol “Re:Zero” untuk mengulang keputusan, pasti hidup lebih tenang — tapi ya, tidak seseru itu kehidupan mahasiswa.)

Empat sosok ini bukanlah idola, melainkan cermin filosofis bagi empat pilar kepribadian yang saya pegang:

  • Souma → logika dan sistematika
  • Baldwin → kebijaksanaan dan pengendalian diri
  • Salahuddin → empati dan kehormatan
  • Lelouch → keberanian dan tanggung jawab moral

Keadilan memberi arah, kebijaksanaan memberi batas, empati memberi makna, dan keberanian memberi jalan.
Di antara keempatnya, saya menemukan ruang bagi diri saya sendiri — seorang manusia yang ingin berpikir dengan kepala yang jernih, berperilaku dengan hati yang tulus, dan bertindak dengan tanggung jawab yang sadar akan akibatnya.


2. Struktur Diri — Menemukan Narasi Personal

Dalam kerangka teori self-concept dan identitas naratif (McAdams, 1993) sebagaimana dijelaskan pada materi Memahami Komunikasi Diri dan Pementasan Diri, kepribadian manusia terbentuk dari tiga lapisan:

  1. Sifat dasar (trait level) — cara alami saya berpikir dan berperilaku: logis, analitis, tenang, tetapi frontal saat mempertanyakan sesuatu.
  2. Kepedulian pribadi (personal concern) — nilai yang saya pegang: keadilan, kesetiaan, dan kebaikan.
  3. Identitas naratif (narrative identity) — kisah hidup yang saya bangun untuk memaknai siapa saya dan mengapa saya bertindak demikian.

Ketiga lapisan ini berpadu dalam satu prinsip: menjadi rasional tanpa kehilangan rasa kemanusiaan.
Saya berusaha menjadi seseorang yang tidak hanya berpikir dengan kepala, tetapi juga dengan hati yang tahu kapan harus berhenti berdebat dan mulai memahami.
(Karena kadang, menang argumen itu kalah waktu — apalagi kalau sudah lewat jam 1 pagi dan teman sekamar mau tidur.)


3. Refleksi — Agensi dan Daya Tarik Personal

Dalam komunikasi interpersonal, daya tarik tidak sekadar soal penampilan, tetapi tentang kemampuan menampilkan diri dengan jujur dan konsisten.
Konsep ini berkaitan dengan agensi — keyakinan bahwa kita adalah aktor utama dalam kisah hidup kita sendiri.

Sebagai pribadi yang logis dan realistis, saya percaya bahwa tindakan sadar adalah bentuk komunikasi tertinggi.
Kita bisa memilih untuk adil, setia, dan berbuat baik, bahkan di tengah dunia yang mungkin tidak selalu melakukan hal yang sama kepada kita.
Di situlah letak agensi diri saya: dalam kesadaran untuk tetap menjadi diri sendiri, bukan korban keadaan.


4. Kesimpulan — Rasionalitas, Keberanian, dan Nilai

Saya mungkin bukan pencerita ulung, tetapi saya paham bahwa setiap keputusan adalah bab dalam buku hidup yang saya tulis sendiri.
Saya memilih untuk menjalani hidup dengan logika sebagai panduan, nilai sebagai jangkar, dan keberanian sebagai tinta yang menulis perjalanan itu.

Saya ingin dikenal sebagai seseorang yang berpikir dengan kepala, bertindak dengan hati, dan berdiri di atas keadilan, bahkan ketika sendirian.
Dan kalaupun dunia belum adil, semoga setidaknya kopi pagi saya tetap manis di tengah semua kepahitan hidup.


Refleksi Konseptual — Komunikasi Diri dan Daya Tarik Pribadi

Tulisan ini merupakan bentuk komunikasi intrapersonal — sebuah dialog antara logika, nilai, dan aspirasi yang membentuk identitas diri.
Dalam konteks Komunikasi Interpersonal, saya memahami bahwa self-concept bersifat dinamis: ia tumbuh, beradaptasi, dan berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Pementasan diri (self-presentation) yang saya lakukan bukanlah topeng, melainkan ekspresi autentik dari konsistensi antara keyakinan dan tindakan.
Inilah inti daya tarik pribadi: menjadi seseorang yang jelas bagi dirinya sendiri, sehingga orang lain pun dapat melihatnya dengan jelas.

Dengan demikian, All About Me bukan hanya pengenalan pribadi, tetapi juga latihan reflektif untuk memahami bagaimana saya dapat berkomunikasi secara efektif, etis, dan autentik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.