UTS-4 My Shape – Cermin Sang Debater

Author

Daffari Adiyatma

UTS-4 My Shape


1. Menemukan Bentuk Diri

Setiap orang punya bentuk yang tidak bisa diukur dengan penggaris.
Saya tidak bicara soal fisik, tapi tentang pola pikir, nilai, dan cara berinteraksi dengan dunia.
Bentuk saya, kalau boleh disimpulkan dalam satu kalimat, adalah campuran antara logika yang tak bisa diam dan rasa ingin tahu yang tidak pernah cukup.

Saya pernah mengikuti tes kepribadian MBTI, dan hasilnya: ENTP-A, “The Debater.”
Katanya, orang dengan tipe ini senang berargumen, tapi bukan untuk menang — melainkan untuk menemukan ide yang lebih baik.
Dan jujur, itu sangat saya.
Saya suka berdiskusi, kadang terlalu panjang, kadang sarkastik, tapi ujung-ujungnya selalu ingin tahu mengapa seseorang berpikir seperti itu.

Selain itu, saya juga pernah mengikuti tes temu bakat dan hasilnya menunjukkan kecenderungan sebagai:
Analyst, Commander, Evaluator, dan Visionary.
Ketika membaca hasil itu, saya tertawa kecil.
Rasanya seperti membaca versi “serius” dari diri saya sendiri — seseorang yang penuh ide, banyak analisis, tapi juga mudah bimbang karena terlalu banyak kemungkinan.


2. Lima Kekuatan yang Membentuk Saya

Kalau saya harus memilih lima hal yang paling menggambarkan diri saya, mungkin inilah mereka:

⚖️ 1. Fairness (Keadilan)

Sejak kecil, saya percaya hidup harus adil.
Bahwa apa yang ditanam harus dituai, dan bahwa setiap orang berhak mendapatkan porsi yang setimpal.
Keyakinan itu makin kuat saat SMA, ketika saya melihat betapa mudahnya orang meremehkan yang dianggap “biasa.”
Saya belajar bahwa adil tidak selalu berarti sama, tapi memperlakukan orang sesuai kebutuhannya.

😏 2. Humor (Sarkas yang Terkontrol)

Humor bagi saya bukan sekadar tawa.
Saya tidak suka bercanda kosong, tapi saya senang menertawakan ironi hidup — termasuk diri sendiri.
Humor adalah cara saya menjaga kewarasan, terutama di lingkungan akademik yang keras seperti ITB.
Dan entah bagaimana, sering kali lewat tawa, komunikasi justru jadi lebih jujur.

🧭 3. Leadership

Saya tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai pemimpin, tapi entah kenapa, sering kali orang datang mencari arahan.
Mungkin karena saya terlalu sering bicara (wkwkwk), atau karena saya berusaha adil dalam menilai.
Tapi saya sadar: memimpin bukan soal di depan, tapi soal tahu kapan diam dan kapan berbicara.

🔍 4. Curiosity (Rasa Ingin Tahu)

Saya bisa tenggelam berjam-jam di satu topik hanya karena penasaran.
Dari teknologi, filsafat, sampai psikologi manusia — semua menarik.
Rasa ingin tahu ini membuat saya cepat belajar, tapi juga mudah terdistraksi oleh hal baru.
Namun saya tidak menyesal, karena justru dari eksperimen-eksperimen hidup itulah saya tahu apa yang benar-benar saya sukai.

🌌 5. Visionary Thinking

Saya suka memikirkan masa depan.
Tidak hanya tentang karier, tapi juga tentang arah manusia, teknologi, dan bagaimana keduanya bisa berjalan berdampingan.
Saya senang membayangkan sistem yang lebih efisien, dunia yang lebih adil, dan cara hidup yang lebih seimbang.
Mungkin itu sebabnya saya betah di dunia sistem dan teknologi — karena bagi saya, logika bisa menjadi alat moral, jika dipakai dengan hati.


3. Tantangan yang Sedang Saya Hadapi

Kalau saya jujur, musuh terbesar saya bukan orang lain, tapi prokrastinasi.
Saya bisa berpikir jauh, tapi sering terlambat bergerak.
Terlalu banyak rencana di kepala, terlalu sedikit eksekusi di dunia nyata.
Selain itu, saya kadang terlalu mudah percaya pada orang.
Saya suka berpikir semua orang punya niat baik — dan kadang, saya salah.

Langkah kecil yang saya lakukan sekarang adalah belajar menyeimbangkan dua hal:
menjaga idealisme tanpa kehilangan disiplin.
Saya mulai melatih diri dengan membaca buku, menonton video pengembangan diri, dan… ya, mencoba melawan rasa malas (meski sering kalah, tapi terus dicoba).


4. Diri Saya dalam Interaksi

Dalam berinteraksi, saya cenderung berhati-hati.
Saya tidak suka menyakiti orang lain lewat kata-kata, jadi kadang memilih diam ketika orang lain marah.
Saya menyesuaikan diri dengan alur, tidak suka memaksakan pendapat,
tapi tetap berpegang pada prinsip.
Saya percaya setiap hubungan harus punya tiga hal: keterbukaan, humor, dan kesetiaan.
Kalau satu hilang, hubungan itu perlahan kehilangan makna.

Saya juga belajar bahwa tertawa tidak selalu tanda bahagia — kadang itu tanda paling jujur dari seseorang yang berusaha tetap kuat.
Dan saya rasa, itu juga bagian dari saya: tertawa di tengah tekanan agar hati tetap ringan.


5. Piagam Diri — “Cermin Sang Debater”

Saya adalah seseorang yang berpikir dengan kepala, namun selalu berusaha melangkah dengan hati.
Saya percaya bahwa keadilan adalah pondasi, logika adalah senjata, dan humor adalah perisai yang membuat hidup tetap manusiawi.
Saya mungkin sering menunda, tapi tidak pernah berhenti mencoba.
Saya mungkin terlalu percaya orang, tapi saya lebih suka disakiti karena percaya daripada kehilangan empati karena curiga.

Saya bukan yang paling hebat, tapi saya selalu berusaha memahami —
dan mungkin, di sanalah letak kekuatan saya: di antara pedang logika dan kehangatan manusia.


Refleksi Penutup

Dari semua hasil asesmen dan perjalanan ini, saya belajar satu hal sederhana:
mengenal diri bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengerti.
Setiap kekuatan yang saya miliki bisa jadi kelemahan kalau tidak dijaga,
dan setiap kelemahan bisa berubah jadi kekuatan kalau saya mau belajar darinya.

Jadi, kalau orang lain melihat saya sebagai “debaters” yang banyak bicara,
saya akan tersenyum — karena mereka belum tahu, bahwa di balik banyaknya kata,
ada seseorang yang diam-diam masih belajar mendengarkan dunia.